Dalam ajaran Islam dikenal berbagai kekuatan supranatural yang dimiliki oleh sebagian orang. Keyakinan semacam ini merupakan salah satu ciri ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Salah satu di antara berbagai kekuatan supranatural tersebut adalah wujudnya ‘ain. Perihal tentang nyatanya wujud ‘ain ini, ditegaskan oleh Rasulullah dalam salah satu haditsnya: الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَىْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ “Ain itu nyata (Haq), kalau saja ada sesuatu yang mendahului takdir, niscaya ‘ain akan mendahuluinya” (HR Muslim). ‘Ain sendiri diartikan oleh para ulama dengan berbagai pengertian sebagai berikut: والعين نظر باستحسان مشوب بحسد من خبيث الطبع يحصل للمنظور منه ضرر “’Ain adalah pandangan kagum atau takjub disertai dengan rasa iri dengki dari seseorang yang memiliki tabiat buruk yang mengakibatkan adanya bahaya pada orang yang dilihatnya” (Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, juz 10, h. 200). وهي النظر إلى شئ على غلة واستحسانه والحسد عليه من غير ذكر الله “’Ain adalah pandangan pada sesuatu dalam keadaan lalai dengan rasa kagum kepadanya atau rasa dengki tanpa disertai berdzikir kepada Allah” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, juz 15, h. 474). Dari dua pengertian di atas setidaknya dapat ditarik pemahaman bahwa ‘ain ada dua macam.
Pertama, pandangan dari orang yang memiliki tabiat buruk yang dalam hatinya terdapat rasa hasud, dengki, dan ingin mencelakai terhadap orang yang dipandangnya. Kedua, pandangan kekaguman atau ketakjuban dari orang yang tidak sedang merasa dengki, tetapi kekaguman tersebut tidak disertai dengan berdzikir pada Allah. Adanya ‘ain juga secara tersirat disebutkan dalam Al-Qur’an dalam ayat berikut: وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُواْ الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ “Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengarkan Al-Qur’an dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila’,” (QS al-Qalam: 51). Imam Ibnu Katsir mengarahkan maksud dari kata “pandangan” dalam ayat di atas pada pandangan yang disertai dengan kekuatan ‘ain.
Efek dari terkena pandangan ‘ain ini bermacam-macam ada yang bisa membuat orang yang dipandang langsung sakit, celaka, atau bahkan bisa sampai menyebabkan kematian. Seperti kejadian di zaman Rasulullah, yaitu ketika sahabat Amir bin Rabiah mandi bersama Sahabat Sahl bin Hanif. Amir bin Rabiah terkagum-kagum saat melihat badan Sahl bin Hanif yang putih dan bersih, seketika itu Sahl bin Hanif pingsan, para sahabat yang lain akhirnya memanggil Rasulullah ﷺ.
Setelah meruqyah Sahl bin Hanif, beliau bersabda: إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ أَوْ أَخِيهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيَدْعُ بِالْبَرَكَةِ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ “Ketika salah satu di antara kalian kagum saat melihat dirinya sendiri, barang miliknya atau saat melihat saudaranya, maka doakanlah dia dengan keberkahan, karena ‘ain itu nyata” (HR Nasa’i dan Hakim). Maka tidak heran jika Rasulullah menjadikan ‘ain ini sebagai bagian dari sesuatu yang dianggap berbahaya dan patut untuk diwaspadai. Hal ini salah satunya dapat kita lihat dari salah satu isi doa Rasulullah yang berisi tentang bentuk permohonan perlindungan Allah atas penyakit ‘ain seperti dalam doa berikut: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ “Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari semua Setan, Binatang yang beracun dan ‘Ain yang menyakitkan” (HR al-Bukhari). Membaca doa di atas merupakan salah satu ikhtiar yang dapat kita lakukan agar terhindar dari penyakit ‘ain. Lantas apakah semua pandangan seseorang yang disertai rasa kagum atau dengki dapat membahayakan orang lain? Tentu tidak.
Pandangan berkekuatan ‘ain tidak secara pasti wujud pada setiap orang yang memandang orang lain dengan rasa kagum atau rasa dengki, sebab ‘ain sejatinya hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu dengan adanya kriteria-kriteria tertentu. Hal ini misalnya dapat kita lihat dari berbagai kisah-kisah yang terjadi berkaitan dengan penyakit ‘ain. Misalnya seperti yang diceritakan oleh Imam Asmu’i dalam kitab Tafsir al-Qurtubi berikut: قال الأصمعي: رأيت رجلا عيونا سمع بقرة تحلب فأعجبه شخبها فقال: أيتهن هذه ؟ فقالوا: الفلانية لبقرة أخرى يورون عنها، فهلكتا جميعا، المورى بها والمورى عنها قال الأصمعي:وسمعته يقول: إذا رأيت الشئ يعجبني وجدت حرارة تخرج من عيني “Imam Asmu’i berkata, ‘Aku pernah melihat orang yang memiliki kemampuan ‘ain mendengar bahwa ada seekor sapi yang diperah susunya. Lantas ia kagum pada air susu yang keluar dari sapi tersebut. Lalu ia berkata, ‘Adakah sapi-sapi lain yang seperti ini?’ Orang di sekitarnya menjawab, ‘Si fulan menyembunyikan sapi lain (yang air susunya seperti sapi awal) yang disembunyikan dari sapi awal’. lalu tak lama kemudian dua sapi yang dimaksud tersebut mati, baik yang disembunyikan ataupun yang tidak disembunyikan” “Imam Asmu’i berkata, ‘Aku mendengar orang tersebut berkata, ‘Saat aku melihat sesuatu yang mengagumkanku maka aku merasakan rasa panas yang keluar dari mataku’,” (Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 9, h. 227). Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa salah satu karakteristik orang yang memiliki pandangan berkekuatan ‘ain di antaranya adalah merasakan rasa panas tatkala melihat hal-hal yang mengagumkan dalam pandangan matanya.
Bukti lain atas tidak berlakunya pandangan ‘ain pada setiap orang salah satunya ditentukan dari berbagai rumusan ulama yang menyatakan agar orang yang memiliki kekuatan pandangan ‘ain agar menjauh dari masyarakat, bahkan ada yang berpandangan agar ia diasingkan atau minimal selalu diam di rumahnya, agar pandangannya tidak berbahaya bagi orang lain. Jika setiap orang yang merasa kagum atau merasakan kedengkian saat memandang pasti memiliki kekuatan ‘ain tentu berbagai rumusan di atas dianggap kurang relevan, sebab akan banyak orang yang diasingkan atau dikurung hanya karena merasa kagum atau dengki pada suatu hal. Selain itu kekuatan ‘ain ini rupanya juga dapat dimiliki oleh seseorang dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Misalnya seperti kisah yang dijelaskan oleh Imam al-Kalbi berikut: تفسير القرطبي (18/ 255) وقال الكلبي: كان رجل من العرب يمكث لا يأكل شيئا يومين أو ثلاثة، ثم يرفع جانب الخباء فتمر به الابل أو الغنم فيقول: لم أر كاليوم إبلا ولا غنما أحسن من هذه ! فما تذهب إلا قليلا حتى تسقط منها طائفة هالكة فسأل الكفار هذا الرجل أن يصيب لهم النبي صلي الله عليه وسلم بالعين فأجابهم، فلما مر النبي صلي الله عليه وسلم أنشد: قد كان قومك يحسبونك سيدا * وأخال أنك سيد معيون فعصم الله نبيه صلي الله عليه وسلم ونزلت: ” وإن يكاد الذين كفروا ليزلقونك ” “Imam al-Kalbi berkata, ‘Dahulu ada lelaki dari bangsa Arab yang berdiam diri, tidak makan apa pun selama dua atau tiga hari, lalu ia berpindah menuju samping tenda (tempat pertapaannya). Kemudian ia berjalan melewati seekor unta dan seekor kambing (yang mengangkut orang). Melihat dua hewan ini ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat unta dan kambing sebagus unta dan kambing ini’. Kemudian dua hewan itu tidak berjalan banyak langkah kecuali sekelompok orang jatuh dari unta dan kambing itu dalam keadaan meninggal.” Lalu orang-orang kafir memohon pada lelaki tersebut agar menimpakan kekuatan ‘ainnya pada Nabi Muhammad ﷺ, lelaki itu pun menyanggupi permintaan orang-orang kafir. Saat lelaki itu bertemu Nabi Muhammad sedang melewati jalan, Nabi menembangkan sebuah syair: “Sungguh kaummu menganggapmu sebagai tuan * sedangkan aku menyangka engkau adalah tuan bagi orang yang diberi kekuatan ‘ain”. Allah menjaga Nabi Muhammad dari kekuatan negatif ‘ain yang dimiliki lelaki itu. Lalu turunlah ayat ‘Wa in yakâdul ladzîna kafarû layuzliqûnaka’ (ayat tentang ‘ain [QS al-Qalam: 51] seperti telah dijelaskan di atas). Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ‘ain adalah kekuatan negatif yang berasal dari pandangan seseorang yang disertai rasa kagum atau rasa dengki pada orang lain yang dapat membahayakan orang lain tersebut. Kekuatan supranatural berupa ‘ain ini hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu, adakalanya karena memang bawaan dari lahir atau diupayakan dengan melakukan berbagai macam ritual-ritual tertentu. Wallahu a’lam. Ustadz M. Ali Zainal Abidin, anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur dan pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/129033/penyakit-ain-penyebab-bahaya-dan-doa-terhindar-darinya